Minggu, 11 Mei 2014

BERFIKIR TENTANG ILMU LEBIH DIPERLUKAN

Banyak orang menyangka bahwa bekerja fisik (ibadah fisik) itu lebih utama dari berfikir,sehingga banyak dari mereka yang begitu giatnya melakasanakan ibadah fisik tetapi miskin ilmu.Bahkan mereka meminta upah untuk apa yang ia lakukan,padahal jika mereka mengikhlaskan amalnya maka Alloh akan membalas dengan yang lebih baik.Ia berbuat seperti itu karena merasa sudah melepaskan tenaga,padahal orang lain yang lebih banyak melepaskan tenaga justru merasa lega bila ia dapat menyelesaikan permasalahan umat.
Contoh kongkrit dapat kita lihat dari sekitar masjid kita,biasanya tukang bersih masjid selalu diberi upah atas jerih payahnya membersihkan masjid,sedangkan seorang takmir yang berfikir keras untuk pengorganisasian kemakmuran masjid tidak pernah ada yang memikirkan untuk memberikan upah atas jerih payahnya. Hal ini terjadi tentunya karena kebanyakan masyarakat hanya menilai dari sesuatu yang kasat mata(secara fisik) ,tidakmampu melihat pekerjaan besar yang dilakukan seseorang untuk terciptanya sebuah kemakmuran masjid. Dan inilah yang terjadi disemua lini,sepertinya orang hanya menghargai kerja kuli daripada kerja manager.
Melakukan sebuah peribadatan haruslah berdasarkan ilmu yang berarti mengerti tentang dalil perbuatan yang akan dilakukan,supaya tidak keliru.Seseorang biasanya akan melakukan suatu perbuatan berdasarkan kesimpulan dari ilmu yang dimilikinya. Karena itu Rosululloh bersabda bahwa berfikir sesaat(memahami ilmu) lebih utama dari sholat seribu rakaat. sholat seseorang yang tidak berilmu tidak akan membuat setan takut,karena sholat yang dilakukan tidak bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar.Sedangkan orang yang sholat dengan ilmu,setan akan takut kepadanya dikarenakan sholat yang ia lakukan sesuai dengan perintah dan berarti tersambunglah semua simpul sholat dengan sang kholik,hingga memancarkan cahaya yang menakutkan bagi setan.
Selanjutnya Alloh memberi tahu pada kita bahwa siapa yang diberikan hikmah maka akan diberikan kebaikan yang banyak.Hikmah tidak akan diraih tanpa pemikiran dan pemahaman.Sedangkan pemikiran dan pemahaman itu kerja non fisik.Berbeda dengan orang-orang yang taklid yang sekedar ikut-ikutan maka dia beribadah karena ada yang diikuti saat itu,jika yang diikuti tidak ada maka kemungkinan mereka tidak mengerjakan ibadah.
Banyak diantara kita yang tidak mau menajamkan kita untuk menggali ilmu Alloh,ia berfikir dengan sholat dan puasa saja sudah cukup untuk masuk surga,padahal kita hidup didunia ini perlu melakukan peribadatan yang lain seperti bebuat baik dengan menyantuni fakir miskin,beramar makruf nahi mungkar dll.Jika umat islam tidak mau berfikir tentang kehidupan dimuka bumi ini maka orang-orang kafirlah yang akan menguasai dunia materiini.jika demikian orang islam bisa menjadi tidak merdeka lagi untuk beribadah..

Rabu, 13 November 2013

MANFAAT PUASA
Para peneliti dari National Institute on Ageing menemukan bahwa dengan berpuasa, bahkan selama satu atau dua hari selama seminggu. Dapat melindungi otak terhadap beberapa efek buruk dari Alzheimer, Parkinson dan menjadi kunci untuk kehidupan yang lebih panjang.
Penelitian ini awalnya dilakukan terhadap binatang percobaan seperti tikus yang diberi  makanan dengan kalori minimum dan hasilnya justru berumur dua kali lebih panjang. Percobaan selanjutnya dilakukan pada manusia dan ternyata memiliki manfaat yang sama melindungi jantung, sistem peredaran darah dan melindungi otak dari penyakit Alzheimer.
Menurut peneliti, bahwa diet rendah kalori adalah resep untuk hidup sehat, dan penelitian terbaru menunjukkan bahwa dengan mengurangi sekitar 500 kalori untuk satu sampai dua hari selama seminggu,  secara signifikan memperlambat timbulnya penyakit pada otak.
Para peneliti mengatakan, dengan berpuasa, maka kimia di otak mendorong asupan kalori terbatasi. “Mengurangi asupan kalori bisa membantu otak Anda, tapi dengan cara mengurangi asupan makanan atau berpuasa,” jelas Mark Mattson, kepala laboratorium institut ilmu saraf di Johns Hopkins University School of Medicine, Baltimore, seperti dilansir dari guardian.co.uk.
Mattson dan rekannya berpendapat bahwa kelaparan sendiri kadang-kadang bisa mencegah bukan hanya kesehatan yang buruk dan kematian dini. Tetapi menunda timbulnya kondisi yang mempengaruhi otak, termasuk stroke. “Hewan percobaan kami jelas menunjukkan hal ini,” kata Mattson.
Dia dan rekan-rekannya juga telah bekerja di luar mekanisme tertentu di mana pertumbuhan neuron di otak dapat dipengaruhi oleh berkurangnya asupan energi. Jumlah dari dua pesan bahan kimia meningkat saat asupan kalori berkurang tajam. Pesan kimia memainkan peran penting dalam meningkatkan pertumbuhan neuron di otak, sebuah proses yang akan melawan dampak dari Alzheimer dan Parkinson.
“Sel-sel otak yang diletakkan di bawah stres ringan beranalogi dengan efek dari latihan pada sel-sel otot, efek keseluruhan yang bermanfaat,” ujarnya.
Hubungan antara penurunan asupan energi dan meningkatkan pertumbuhan sel di otak mungkin terlihat satu yang tidak mungkin, tetapi Mattson bersikeras bahwa ada alasan evolusi suara untuk percaya itu menjadi kasus.
“Ketika makanan menjadi langka, kita akan mencari atau mencuri makanan. Mereka yang otaknya menanggapi terbaik – yang ingat di mana makanan tersebut  dapat ditemukan atau ingat bagaimana untuk menghindari musuh – merekalah yang akan mendapatkan makanan. Jadi mekanisme yang menghubungkan periode kelaparan terhadap pertumbuhan saraf akan berkembang,” tandas Mattson. 
Seperti yang diungkapkan Taruna Ikrar, MD., PhD, Specialist and Scieintist dari University of California, School of Medicine, Irvine, USA, bagi penyakit kardiovaskuler, tidak ada penanggulangan yang lebih baik selain mencegahnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperbaiki gaya hidup sehat, melaksanakan pola makanan yang sehat (memperbanyak makan makanan berserat dan bersayur, serta tidak makan berlebihan makanan yang mengandung lemak dan kolesterol tinggi), serta dilanjutkan dengan olah raga atau aktivitas yang teratur.
Nah, dengan berpuasa, akan melatih seseorang untuk hidup teratur, serta mencegah kelebihan makan. Menurut penelitian, puasa dapat menyehatkan tubuh, sebab makanan berkaitan erat dengan proses metabolisme tubuh. Saat berpuasa ternyata terjadi peningkatan HDL and apoprotein alfa1, dan penurunan LDL ternyata sangat bermanfaat bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah.
Beberapa penelitian menunjukkan saat puasa ramadan berpengaruh terhadap ritme penurunan distribusi sirkadian dari suhu tubuh, hormon kortisol, melatonin dan glisemia. Berbagai perubahan yang meskipun ringan tersebut tampaknya juga berperanan bagi peningkatan kesehatan manusia.
Keadaan psikologis yang tenang, teduh dan tidak dipenuhi rasa amarah saat puasa ternyata dapat menurunkan adrenalin. Saat marah terjadi peningkatan jumlah adrenalin sebesar 20-30 kali lipat. Adrenalin akan memperkecil kontraksi otot empedu, menyempitkan pembuluh darah perifer, meluaskan pebuluh darah koroner, meningkatkan tekanan darah rterial dan menambah volume darah ke jantung dan jumlah detak jantung. Adrenalin juga menambah pembentukan kolesterol dari lemak protein berkepadatan rendah. Berbagai hal tersebut ternyata dapat meningkatkan resiko penyakit pembuluh darah, jantung dan otak seperti jantung koroner, stroke dan lainnya.
Puasa bisa menurunkan kadar gula darah, kolesterol dan mengendalikan tekanan darah. Itulah sebabnya, puasa sangat dianjurkan bagi perawatan mereka yang menderita penyakit diabetes, kolesterol tinggi, kegemukan dan darah tinggi. Dalam kondisi tertentu, seorang pasien bahkan dibolehkan berpuasa, kecuali mereka yang menderita sakit diabetes yang sudah parah, jantung koroner dan batu ginjal. Puasa dapat menjaga perut yang penuh disebabkan banyak makan adalah penyebab utama kepada bermacam-macam penyakit khususnya obesitas, hiperkolesterol, diabetes dan penyakit yang diakibatkan kelebihan nutrisi lainnya.
Penghentian konsumsi air selama puasa sangat efektif meningkatkan konsentrasi urin dalam ginjal serta meningkatkan kekuatan osmosis urin hingga mencapai 1000 sampai 12.000 ml osmosis/kg air. Dalam keadaan tertentu hal ini akan member perlindungan terhadap fungsi ginjal. Kekurangan air dalam puasa ternyata dapat meminimalkan volume air dalam darah. Kondisi ini berakibat memacu kinerja mekanisme lokal pengatur pembuluh darah dan menambah prostaglandin yang pada akhirnya memacu fungsi dan kerja sel darah merah.
Dalam keadaan puasa ternyata dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh. Penelitian menunjukkan saat puasa terjadi pengkatan limfosit hingga sepuluh kali lipat. Kendati keseluruhan sel darah putih tidak berubah ternyata sel T mengalani kenaikkan pesat. Perubahan aksidental lipoprotein yang berkepadatan rendah (LDL), tanpa diikuti penambahan HDL. LDL merupakan model lipoprotein yang meberika pengaruh stumulatif bagi respon imunitas tubuh.
Pada penelitian terbaru menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar apobetta, menaikkan kadar apoalfa1 dibandingkan sebelum puasa. Kondisi tersebut dapat menjauhkan seragan penyakit jantung dan pembuluh darah.
Penelitian endokrinologi menunjukkan bahwa pola makan saat puasa yang bersifat rotatif menjadi beban dalam asimilasi makanan di dalam tubuh. Keadaan ini mengakibatkan pengeluaran hormon sistem pencernaan dan insulin dalam jumlah besar. Penurunan berbagai hormon tersebut merupakan salah satu rahasia hidup jangka panjang.
Sebuah tulisan penelitian yang dilakukan Dr. Ratey, seorang psikiaters dari Harvard, mengungkapkan bahwa pengaturan dan pembatasan asupan kalori akan meningkatkan kinerja otak. Dr. Ratey melakukan penelitian terhadap mereka yang berpuasa dan memantau otak mereka dengan alat yang disebut “functional Magnetic Resonance Imaging” (fMRI). Hasil pemantauan itu menyimpulkan bahwa setiap individu obyek menunjukkan aktivitas “motor cortex” yang meningkat secara konsisten dan signifikan.
Ilmuwan di bidang neurologi yang bernama Mark Mattson, Ph.D., seorang kepala laboratorium neuroscience di NIH’s National Institute on Aging. Dalam hasil penelitiannya menunjukkan bahwa diet yang tepat seperti berpuasa, secara signifikan bisa melindungi otak dari penyakit de-generatif seperti Alzheimer atau Parkinson. Hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa diet dengan membatasi masukan kalori 30% sampai 50% dari tingkat normal, berdampak pada menurunnya denyut jantung dan tekanan darah, dan sekaligus peremajaan sel-sel otak.
Sebelum penelitian ini di lakukan, beberapa abad yang lalu Islam sudah menganjurkan manusia untuk melaksanakan puasa baik puasa wajib pada bulan Ramadhan, juga di bulan-bulan lain kita dianjurkan untuk berpuasa sunnah Senin dan Kamis. serta di sebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam bahwa kita dianjurkan untuk berpuasa, selain mendapat jaminan pahala, kita juga akan menjadi sehat.
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/11/12/puasa-kali-seminggu-mencegah-penyakit-alzheimer.html#sthash.iJeYcoHk.dpuf

Kamis, 29 Agustus 2013

Hadits Ahad Bukan Hujjah Dalam Aqidah, Benarkah?

Thu, 18 Apr 2013 07:07 - 2064 | aqidah
Assalamu'alaikum wr. wb.
Ustadz, ana lagi bingung tentang masalah HADITS AHAD. Ada golongan yang menganggap bahwa hadits ahad tidak bisa di jadikan hujjah dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad masih termasuk ke dalam dzon (keraguan). Sebagian lagi berpendapat bahwa hadits ahad bisa dijadikan hujjah asalkan shahih. Tolong diterangkan beserta dalilnya. Syukron atas jawabannya, jazakalloh ahsanal jaza...
Wasalamu'alaikum Wr. Wb.

Jawaban :

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, 
Memang ada beberapa orang yang menghukumi hadits ahad sebagai hadits yang lemah, sehingga tidak bisa dijadikan dasar aqidah.
Di antara yang berpendapat demikian antara lain An-Nadham (w. 221-223 H) dan Al-Jubbai (w. 303 H) dari kalangan Mu'tazilah yang sejak abad ke-2 hijriyah telahberpendapat demikian. Termasuk di masa sekarang ini adalah Syeikh Muhammad Syalthut yang menulis di dalam bukunya Al-Islamu Aqidatan wa Syari'atan.
Sedangkan jumhur ulama, menurut Ibnu Hazm, baik dari kalangan ahli sunnah, syiah, khawarij, qadariyah dan lainnya, semua sepakat menerima keberadaan hadits ahad sebagai landasan aqidah.
Kelemahan Pendapat Ini
Pendapat yang menolak hadits ahad sebagai landasan aqidah ini oleh para pakar hadits dikritik karena ada sedikit keterpelesetan penggunaan istilah. Yang benar sesungguhnya bukan hadits ahad, melainkan hadits dhaif. Hadits dhaif adalah hadits yang lemah dari segi periwayatannya, sehingga kekuatannya dari segi tsubut masih diragukan. Oleh karena itu masalah-masalah yang urgen seperti aqidah tidak boleh didasarkan dengan hadits dhaif.
Adapun hadits ahad punya pengertian yang jauh berbeda dengan hadits dhaif. Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu orang perawi. Dan keberadaan hanya satu orang perawi dalam sebuah thabaqat tidak berpengaruh apa-apa terhadap kekuatan sebuah periwayatan. Yang penting perawi yang sendirian itu tsiqah serta tidak punya cacat atau luka (majruh).
Sehingga sebuah hadits ahad bisa saja tetap berstatus shahih, bila perawinya memenuhi syarat keshahihan suatu hadits. Sebab lawan dari hadits ahad bukanlah hadits shahih, melainkan haditsmutawatir. Sedangkan lawan dari hadits shahih adalah hadits dhaif.
Hadits mutawatiradalah hadits hasil tanggapan dari pancaindera yang diriwayatkan oleh oleh sejumlah besar rawi yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat berdusta. Menurut As-Suyuthi, jumlah itu minimal 10 orang di tiap jenjangnya.
Sedangkan hadits ahad adalah lawan dari hadits mutawatir. Para ulama hadits biasa membuatdefinisi bahwa semua hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir disebut hadits ahad. Lalu hadits ahad itu bisa dibagi lagi menjadi tiga level lagi yaitu: hadits masyhur, hadits 'aziz dan haditsgharib.
Pembagian hadits ahad menjadi masyhur'aziz dan gharib tidaklah bertentangan dengan pembagian hadits ahad kepada shahih, hasan dan dhaif. Sebab membaginya dalam tiga macam tersebut bukan bertujuan untuk menentukan diterima (maqbul) atau tidak diterimanya (mardud) suatu hadits, tetapi untuk mengetahui banyak atau sedikitnya jumlah sanad dan perawi suatu hadits.
Kalau kita bicara tentang keshahihan atau kekuatan derajat suatu hadits, maka kita tidak berbicara jumlah perawi. Tetapi yang kita bicarakan adalah status ketsiqahan sang perawi. Sedangkan ketika kita bicara tentang hadits ahad dan hadits mutawatir, kita hanya bicara tentang jumlah perawi, yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan status keshahihan suatu hadits. Meski tetap ada hubungannya.
Oleh karena itu, yang benar adalah bahwa hadits dhaif tidak bisa dijadikan landasan masalah aqidah dan syariah. Sedangkan hadits ahad, asalkan perawinya tsiqah, tetap bisa berstatus shahih dan bisa dijadikan landasan masalah aqidah dan syariah.
Dalil Hadits Ahad Bisa Dijadikan Landasan Masalah Aqidah
1. Pengiriman Da'i ke Berbagai Wilayah
Dakwah Raslullah SAW tidak terbatas hanya di kota Makkah dan Madinah saja, tetapi juga merambah ke segala penjuru negeri arab, bahkan sampai ke luar negeri arab. Untuk itu Rasulullah SAW mengutus satu orang shahabat ke masing-masing wilayah untuk mengajak penduduknya masuk Islam.
Salah satunya adalah Muaz bin Jabal diutusbeliau SAW ke negeri Yaman. Dari wawancara antara Rasulullah SAW dengan beliau sebelum berangkat, jelas sekali bahwa misi yang diemban adalah mengajarkan tauhid dan masalah aqidah.
Kalau dilihat dari pengertian hadits ahad, maka dikirimnya Muaz ra. ke Yaman adalah merupakan fenomena hadits ahad, sebab beliau sendirian saja di tengah wilayah yang dijadikan objek dakwah. Kalau pun disebut-sebut bahwa Abu Musa Al-Asy'ari juga dikirim ke Yaman, ternyata ke wilayah yang berbeda.
Maka klaim bahwa hadits ahad tida bisa dijadikan dasar masalah aqidah, gugur dengan sendirinya. Sebab datangnya Muaz ra. ke Yaman untuk mengajarkan seluruh ajaran Islam adalah sebuah kasus hadits ahad. Namun tidak pernah ada yang mempermasalahkan keIslaman penduduk Yaman, meski hanya disampaikan oleh satu orang pembawa berita.
2. Surat Nabi kepada Para Raja Dunia
Surat-surat yang dikirim kepada para raja dunia oleh Rasulullah SAW juga merupakan bagian dari fenomena hadits ahad. Padahal isinya justru masalah yang paling esensial dalam Islam.
Kalau dikatakan hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah, maka tidak ada gunanya surat-surat itu dikirimkan.
3. Berita tentang Pemindahan Kiblat
Ketika turun ayat tentang pemindahan qiblat dari Masjid Al-Aqsha di Palestina ke Masjid Al-Haram di Makkah, para shahabat sedang melakukan shalat shubuh d masjid Quba', tiba-tiba datang seorang yang membawa berita bahwa telah turun ayat yang memerintahkan pemindahan kiblat. Maka mereka tidak mempermasalahkan jumlah yang membawa berita. Sehingga saat itu juga mereka langsung balik arah.
Kalau seandainya hadits ahad tidak bisa dijadikan landasan aqidah atau syariah, maka para shahabat tidak akan begitu saja menerima berita turunnya wahyu itu.
4. Hadits Nabawi
Juga ada hadits nabawi berikut ini yang menegaskan bahwa berita yang dibawa hanya oleh satu orang, tetap bisa dijadikan dasar dan hujjah atas masalah yang penting semacam aqidah dan sebagainya.
Allah SWT telah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar sesuatu dariku, kemudian dia menyampaikannya lagi kepada orang lain sebagaimana yang dia dengar. (HR Tirimizy)
Hadits ini jelas sekali menegaskan bahwa mendengar hadits yang menyampaikannya kembali, meski dilakukan hanya oleh satu orang saja, dapat dilakukan dan dibenarkan. Baik terkait dalam masalah aqidah, syariah atau lainnya.
Seandainya pendapat untuk menolak hadits ahad ini kita terima, maka sangat berbahaya sekali. Sebab ada banyak sekali aqidahIslam yang harus gugur, karena landasannya hanya berdasarkan hadits ahad. Di antaranya masalah syafat nabi SAW di hari akhir, mukjizat nabi SAW selain Al-Quran, sifat malaikat dan jin, sifat surga dan neraka, adanya sisksa kubur, mizan (timbangan), haudh (telaga) nabi SAW di akhirat, jembatan (shirath), berita-berita tentang hari kiamat dan ciri-ciri kedatangannya, seperti munculnya imam Mahdi, nabi Isa, dajjal dan seterusnya.
Karena semua aqidah itu dilandasi dengan dalil-dalil yang berasal dari hadits ahad, tidak sampai mutawatir.
Bahkan sebagian besar syariat Islam akan terhapus, karena jumlah hadits mutawatir sangat sedikit dibandingkan dengan jumlah hadits ahad.
Yang benar adalah bahwa hadits ahad itu banyak yang shahih, sehingga tetap bisa dijadikan landasan aqidah, syariah dan semuanya.
Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Ahmad Sarwat, Lc.

Rabu, 14 Agustus 2013

MUTIARA KATA:

"Dan tuntutlah dengan harta kekayaan yang telah dikurniakan Allah kepadamu akan pahala dan kebahagiaan hari akhirat dan janganlah engkau melupakan bahagianmu dari dunia dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik kepadamu dan janganlah engkau melakukan kerosakan di muka bumi sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang berbuat kerosakan." (QS Al-Qasas: 77)

19 MAC 2010

KISAH LUKMANUL HAKIM MENGAJAR ANAKNYA


Pernah suatu ketika, Lukmanul Hakim mengajak anaknya berjalan ke pasar. Beliau mengenderai seekor keldai sementara anaknya berjalan kaki menuntun keldai tersebut. Ketika melewati suatu tempat, ia mendengar pembicaraan orang: “Lihat orang tua itu, benar-benar tidak memiliki rasa kasih sayang, anaknya yang kecil dibiarkan berjalan kaki sedangkan dia bersenang-senang menunggang keldai.”

“Wahai anakku, dengarkah engkau apa yang mereka perkatakan itu?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya. “Dengar ayah,” jawab anaknya sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang engkau naiklah ke atas keldai ini, biar ayah yang menuntunnya,” katanya sambil mengangkat anaknya ke atas keldai, lalu mereka meneruskan perjalanan.

Tidak berapa lama kemudian ketika melewati sekelompok orang, “Lihatlah betapa anak yang tidak pandai mengenang budi ayahnya yang sudah tua, disuruhnya ayahnya menuntun keldai sedangkan dia yang masih muda menunggangnya, sungguh tidak patut,” kata orang-orang tersebut.

“Dengarkah engkau apa yang mereka perkatakan?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya. Anaknya mengiyakan pertanyaannya itu. “Sekarang engkau turun dari keldai ini dan kita sama-sama berjalan kaki,” kata Lukmanul Hakim. Anaknya segera turun dari keldai lalu berjalan bersama beriringan dengan ayahnya menuntun keldai.

Sejurus kemudian mereka bertemu pula dengan sekelompok orang lain. “Alangkah bodohnya orang yang menarik keldai itu. Keldai untuk dikenderai dan dibebani dengan barang-barang, bukan untuk dituntun seperti lembu dan kambing,” kata mereka.

“Dengarkah engkau apa kata mereka?” tanya Lukmanul Hakim kepada anaknya lagi. “Dengar, ayah,” jawab anaknya. Lukmanul Hakim berkata: “Kalau begitu marilah kita berdua naik ke atas punggung keldai ini.”

Tidak berapa lama setelah itu mereka mendengar sekelompok orang yang lain yang mereka lewati “Sungguh tidak bertimbang rasa mereka ini, keldai yang kecil ditunggangi berdua!” kata mereka.

Lukmanul Hakim lalu bertanya kepada anaknya, “Apakah engkau dengar apa yang mereka katakan?” Jawab anaknya: “Ya ayah, saya dengar.” “Kalau begitu marilah kita pikul keldai ini,” kata Lukmanul Hakim.

Dengan bersusah payah mengikat keempat-empat kakinya, akhirnya mereka mampu mengangkat keldai itu. Dan dalam keadaan demikian itu mereka mulai berjalan dengan beban memikul seekor keldai.

Ketika sejumlah orang melihat mereka berdua memikul seekor keldai, mereka ketawa terbahak-bahak. “Ha! Ha! Ha! Lihatlah orang gila memikul keldai!

“Dengarkah engkau apa yang mereka katakan?” dia bertanya kepada anaknya lagi. “Dengar ayah,” jawab anaknya. Mereka lalu meletakkan keldai itu ke tanah.

Lukmanul Hakim pun kemudian menjelaskan hikmah di sebalik peristiwa tadi: “Anakku, begitulah sifat manusia. WALAU APAPUN YANG ENGKAU LAKUKAN, ENGKAU TAK AKAN TERLEPAS DARI PERHATIAN DAN PANDANGAN MEREKA. Tidak menjadi soal apakah tanggapan dan sikap mereka benar atau salah, mereka tetap akan mengatakannya.”

Ingatlah anakku BILA ENGKAU TELAH BERTEMU KEBENARAN, JANGANLAH ENGKAU BERUBAH HATI HANYA KERANA MENDENGAR KATA-KATA ORANG LAIN. YAKINLAH PADA DIRI SENDIRI DAN GANTUNGKAN HARAPANMU KEPADA ALLAH.”

Firman Allah SWT: "Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." (QS Ali Imran: 186)

Lukmanul Hakim juga pernah berwasiat kepada anaknya sebelum beliau meninggalkan dunia yang fana ini. “Wahai anakku, janganlah engkau makan kecuali makanan yang sedap sahaja, perbanyakkanlah kahwin serta bangunkan rumah di seluruh pelosok bumi ini.” Anaknya seolah-olah tidak percaya dengan wasiat ayahnya itu. Tetapi mungkin juga ada sesuatu di balik kata-kata itu, fikirnya.

Setelah ayahnya selesai dikebumikan, dia bertemu dengan seorang teman dekat ayahnya, lalu meminta penjelasan tentang kata-kata wasiat ayahnya itu.

“Ayahmu memang benar,” kata teman ayahnya. Dia semakin bingung dengan jawapan itu lalu bertanya, ”Apakah maksud pakcik?” “Wasiat ayahmu yang pertama ertinya janganlah engkau makan kecuali apabila telah benar-benar lapar, kerana apabila engkau sudah terlalu lapar engkau akan merasa makanan yang engkau makan itu begitu enak, lazat dan engkau akan bersyukur dengannya.”

Tentang wasiat ayahmu yang kedua, hendaklah kamu selalu berkelana, kerana apabila engkau bertemu lagi dengan isterimu setelah lama terpisah, engkau akan merasa seperti baru kahwin lagi."

"Sedangkan wasiatnya yang ketiga, yang menyuruh engkau membangunkan sebanyak-banyaknya rumah ertinya, carilah sahabat sebanyak mungkin. Apabila engkau telah bersahabat dengan seseorang maka rumahnya akan menjadi seperti rumahmu sendiri dan rumahmu juga sudah seperti rumahnya.”

Setelah mendengar penjelasan itu barulah dia faham maksud yang sebenarnya dari kata-kata ayahnya yang pada mulanya dianggap aneh itu.

Wallahua'lam... ::

Selasa, 13 Agustus 2013

MuslimDaily.net - Dalam menjalankan ibadah Ramadhan, kaum muslimin dituntut untuk membekali dirinya dengan beberapa kesiapan, baik itu fisik, materi, atau ilmu. Sebab, bila salah satu dari ketiganya luput, kualitas puasa kita yang akan jadi taruhannya.
Selanjutnya, menyiapkan poin terakhir di atas sangatlah penting. Tidak hanya bagi masyarakat awam, tapi juga bagi para ustadz, dai atau mubaligh. Mereka harus membekali diri dengan pengetahuan yang optimal seputar hukum puasa, agar dalam menyampaikan materi dakwah berdasarkan ilmu dan analisa. Sebab, pada kenyataannya, para dai banyak yang kurang teliti dan hati-hati dalam menyampaikan ilmunya. Contoh yang dikritisi pada artikel ini adalah dalam masalah mengutip hadits Nabi Muhammad saw.
Telah dimaklumi kegigihan para ulama hadits (Muhadditsin) dalam menghimpun hadits Rasulullah saw dan membukukannya merupakan sumbangsih terbesar setelah pembukuan Al-Qur’an. Sebab,  Hadits Nabawi adalah referensi hukum kedua setelah kitabullah. Para muhadditsin dengan metodologi yang sangat cermat dan teliti berusaha mensterilkan big project mereka dari virus-virus hadits maudhu’ dan dhaif agar  sunnah Nabawiah tetap terpelihara keotentikannya.
Pada bulan Ramadhan, ternyata para dai kita tanpa disadari banyak menyepelekan jerih payah para muhadditsin di atas. Mereka tanpa beban kerap mensitir hadits-hadits dhoif bahkan maudhu’ tanpa mengklarifikasi derajat haditsnya. Pada akhirnya hadits-hadits tersebut begitu mudahnya diterima oleh masyarakat kita.
Contohnya beberapa kasus seperti doa, ”Allohumma barik lana fi Rojaba wa Sya’bana wa balligna Romadhona.”(HR. ahmad, At-Tobroni, Al-Bazzar dan Al-Baihaqi). Hadits ini ternyata sangat lemah.  Ia  diriwayatkan hanya melalui satu jalur saja yaitu dari Zaidah bin Abiroqqod. Ia adalah sumber cacat hadits ini. Imam Al-Bukhori, An-Nasa’I dan Ibnu Hajar menyebutnya sebagai mungkarul hadis artinya seorang yang amat fatal kesalahannya, pelupa, dan jelas kefasikannya.  Setidaknya para dai bila ingin terus memakai doa ini, hendaklah tanpa menisbatkannya kepada Rasulullah saw atau sebagai pelajaran dengan menyertakan derajat hadisnya. Tentu itu lebih selamat. Demikian menurut Imam Ibnu Hibban.
Hadits kedua “permulaan Ramadhan itu rahmat, pertengahannya magfiroh dan penghabisannya adalah pembebasan dari neraka.” (HR. Addailamy dan Ibnu ‘Asakir). Ungkapan yang sangat masyhur ini selalu didengungkan oleh para dai tapi sedikitpun mereka tidak pernah menyertakan kualitas haditsnya. Menurut Imam As-Suyuti dan al-Hafizh Ibnu Hajar, hadis ini amat lemah. Sedang menurut Syeikh Albani, hadis ini mungkar. Otak masalahnya adalah karena terdapat dua orang perawi yaitu Sallam bin Sawwar dan Maslamah Bin Al-Salt. Perawi pertama adalah seorang mungkarul hadis menurut Ibnu ‘Adi. Adapun Imam Khotib Al-Bagdadi menegaskan tidak boleh berhujjah dengan hadisnya.  Adapun Maslamah juga setali tiga uang dengan Sallam bin Sawwar.
Berpedoman dengan hadits mungkar di atas, otomatis menyetujui klasifikasi Ramadhan menjadi 3 bagian, padahal Ramadhan tidak mengenal pengklasifikasian seperti itu (rahmat, magfiroh, dan pembebasan dari neraka). Ramadhan adalah bulan yang menghimpun tiga keutamaan itu dari awal sampai akhirnya.
Ketiga: ”Sedekah paling baik adalah bersedekah pada bulan Ramadhan.” Hadits yang sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Imam Tirmizi dan Al-Baihaqi dari jalur Sodaqoh bin Musa. Imam Abu Hatim menganggapnya terlalu lunak walaupun haditsnya ditulis tapi tidak bisa dipakai berdalil.  Imam Tirmizi sendiri memiliki komentar miring terhadap Sadaqoh. Alangkah baiknya para dai dan penceramah tidak menggunakan hadits ini sebagai dalil kecuali bila disertai dengan menyebut komentar para ulama.
Hadits keempat yang tak kalah masyhur, ”Dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ”seandainya ummatku mengetahui pahala ibadah bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar Ramadhan menjadi satu tahun penuh.” Hadits yang dikutip oleh Syaikh Usman al-Khubari dalam kitabnya, Durroh An-Nasihin, sebuah kitab yang banyak dikritik oleh para muhadditsin karena kandungan hadits-hadits lemah, palsu, dan kisah-kisah imajinatif (DR. Luthfi Fathullah telah menghimpun semuanya menjadi sebuah buku).
Hadits yang  sebenarnya panjang ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, Al-Baihaqi dan Abu ya’la. Matannya berisi janji muluk-muluk diantaranya bahwa siapapun yang berpuasa Ramadhan sehari, ia akan beristrikan seorang bidadari dengan deskripsi yang sangat elok. Secara keseluruhan terdapat musykil di dalam hadits ini, baik dari segi matan dan sanadnya. Dalam sanadnya terdapat Jarir bin Ayyub Al-Bajali yang oleh Imam Ibnu Jauzi dinilai pemalsu hadits, matruk dan mungkar. Tiga predikat tadi memperparah derajat hadits ini. Ibnu Hajar di dalam Lisanul Mizan menilai  Jarir masyhur dengan kelemahannya. Sebenarnya Imam Ibnu Khuzaimah pun ragu akan keshahihannya. Terbukti beliau menambahkan catatan “jika hadis ini shahih”, setelah menulisnya.
Kelima, Ungkapan yang paling rada aneh lalu dianggap hadist adalah, ”Tidurnya orang berpuasa itu ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya berlipat ganda, doanya makbul, dan dosanya diampuni.” (HR. Al-Baihaqi) Kalimat  pertama kerap dijadikan dalih bagi para pemalas yang menghabiskan waktunya dengan tidur-tiduran. Adapun kalimat berikutnya tak pernah disebut-sebut.  Oleh Imam Al-Baihaqi sendiri, beliau menilai hadis ini dhoif karena terdapat Ma’ruf bin Hisan dan Sulaiman bin Amr Al Nakha’I di dalam rantai sanadnya. Imam Ahmad, Al-Iraqi, dan Al-Minawi sepakat menyebut Sulaiman sebagai pendusta dan pemalsu hadis. Ternyata hadis yang selama ini sering kita jadikan dalih adalah hadis palsu.
Keenam, “Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.”
Hadis tersebut merupakan potongan dari hadits riwayat Ibnu Adi di dalam Al Kamil dari jalan Nahsyal bin Sa’id, dai Ad Dhahhak dari ibnu Abbas. Nahsyal termasuk yang ditinggal karena dia pendusta dan Ad Dhahhak tidak mendengarkan dari ibnu Abbas. Diriwaatkan pula oleh Abu Nu’aim dalam Ath Thibun Nabawiy dari jalan Muhammad bin Sulaiman bin Abi Daud, dari Zuhair bin muhammad, dari Suhail bin Abi Shalih dari Abi hurairah. Dan sanad hadits ini lemah. Ibnu Abi Hatim berkata, “Hafalannya (Zuhair bin Muhammad) jelek.”
Tidak bisa dipungkiri bahwa puasa berdampak positif bagi kesehatan. Kini puasa banyak disarankan oleh para pakar sebagai terapi penyembuhan. Namun, kita perlu hati-hati mensitir ungkapan di atas sebagai hadits Nabi saw.
Catatan terakhir adalah jawaban Rasul Saw saat ditanya tentang resep kesehatan beliau dan para sahabat, ”Kami adalah kaum yang tidak makan  sehingga kami lapar dan apabila kami makan tidak sampai kenyang.” Jawaban yang tidak bertentangan dengan ilmu kesehatan. Tapi apakah itu benar sabda Nabi saw? Prof. DR. KH. Ali Mustafa Yaqub telah menelusuri asal-usul hadis ini, tetapi tak kunjung ditemui dalam kitab-kitab hadis. Beliau malah menemukannya dalam kitab al-Rahmah Fitthib wal hikmah karya Imam As-Suyuti. Ternyata  hadis di atas adalah jawaban seorang thabib dari Sudan saat ditanya  oleh Kisra Persia tentang obat apa yang paling manjur.
Kisah di atas juga dinukil oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Madarij Al-Shu’ud. Dengan ini cukuplah bagi para da’i sebuah hadis yang dianggap shohih oleh para ulama seperti hadis sepertiga untuk makanan, sepertiga minuman dan sepertiganya lagi untuk minuman untuk disampaikan kepada jamaah agar tidak berlebih-lebihan dalam berbuka.
Untuk lebih lengkapnya, para pembaca dapat menelaah hadis-hadis bermasalah seputar Ramadhan dalam kitab Tahzhirul Khillan min Riwayatil Ahaditsi Ad-Daifah Haula Romadhon karya Syaikh Ibnu Umar Abdullah Muhammad Al-Hamadi, buku Majalis Ramadhaniah karya Syaikh Dr. Salman Fahd Al-Audah, buku Hadits-hadits Palsu Seputar Ramadhan karya Prof.KH. Ali Mustafa Yaqub, salah seorang muhaddits ternama Indonesia, buku Sifat Puasa Nabi Sallallahu Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid Salim Al Hilali. Tulisan ini banyak diambil dari referensi di atas.
Mengingat betapa pentingnya menjaga diri agar tidak terjebak dalam menyampaikan berbagai ungkapan atas nama Nabi saw dan mengingat para dai adalah penyambung lidah Nabi saw, sungguh tidak pantas apabila mereka enggan menyeleksi dalil-dalil yang mereka sampaikan. Hadits-hadits bermasalah di atas sudah bergentayangan. Padahal para ulama jauh-jauh hari sudah mengoreksinya lewat karya-karya mereka. Semoga semua ini bukan kesengajaan karena “Barangsiapa yang berbohong atas atas namaku secara sengaja, maka siapkanlah tempat duduknya di neraka”(Muttafaq Alaih) Wallohu a’lam.   
Habib Ziadi
Alumni Ma'had Aly Isy Karima dan Ma'had Aly An-Nu'aimy
Kini Pengasuh Ponpes Darul Muhibbin NW Mispalah Lombok Tengah 

Sabtu, 10 Agustus 2013


MULIA DITENGAH-TENGAH MANUSIA

1). Hablum minallah , maknanya ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari'ah dalam perkara hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat Tafsir At-Thabari , Tafsir Al-Baghawi , dan Tafsir Ibnu Katsir tentang pengertian surat Ali Imran 112).

2). Hablum minan-nas , maknanya ialah perjanjian dari kaum Mukminin dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi dengan membayar upeti bagi kaum Mukminin melalui pemerintahnya untuk hidup sebagai warga negara Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau dengan bahasa lain ialah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan yang bisa dipercaya hanyalah dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari'at Allah Ta'ala.

Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari'at-Nya berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta'ala dan juga kerangka hubungan dengan sesama manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama manusia baik yang muslim maupun yang kafir. Dari kerangka inilah kemudian diuraikan kriteria akhlaqul karimah . Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah dan menjauhi syirik , mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid'ah (yakni penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi akhlaqul karimah , yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta'ala dalam firman-Nya:

“Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” ( Al-Qalam : 4)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:

“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam , pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” ( Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).

Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam Al-Qur'an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu'minin radliyallahu `anha :

“Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur'an.” (HR. Muslim ).

Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan A'isyah ini sebagai berikut:

“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur'an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” ( Al-Aadaab Asy-Syar'iyyah , jilid ke dua hal. 194).

Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:

“Sesungguhnya seorang Mu'min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan nya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A'isyah radliyallahu `anha ).

Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di atas:

“Orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian, Mu'min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” ( Aunul Ma'bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).

Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu'min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahih nya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha' wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada terputus.” (QS. At-Tin: 4-6).

Di dalam ayat tadi disebutkan manusia adalah makhluk unggulan karena peran gandanya, peran sebagai ‘abid seperti terindikasikan dalam ungkapan âmanû dan peran sebagai khalifah seperti terindikasikan dalam ungkapan wa ‘amilû as-shâlihât. Konsep ‘abid menunjukan hubungan vertikal (hablum minallah), dan itu lebih bersifat personal. Sementara konsep khalifah, terkait dengan tanggung jawab sosial, hubungan horizontal (hablum minannas). Kalau ‘abid itu tanggung jawab personal dengan Tuhan, sedang khalifah itu adalah tanggung jawab sosial dalam hubungannya dengan sesama manusia. Karena Allah selalu menggandengkan dua kalimat itu hampir di semua ayat-ayat-Nya, manusia unggulan akan selalu melakukan kedua peran itu secara bersamaan. Dengan demikian, kualitas manusia menurut perspektif tasawuf dilihat dari peran ganda ini.

Pada suatu hari Umar bin Khattab Ra. pernah ditanya, “kenapa engkau tidak pernah tidur?” Umar menjawab, “kalau saya tidur di malam hari bagaimana saya bisa dekat kepada Allah Swt, karena sepanjang hari waktu habis untuk mengurus umat.” Jadi, waktu dia sepanjang hari habis untuk melayani umat, karena dia seorang khlaifah. Tapi malam hari, ia selalu bangun malam untuk beribadah. Yang demikian itu adalah contoh konkrit amalan tasawuf yang berpijak dari ayat dimaksud. 

Masih banyak orang berasumsi bahwa aktifitas tasawuf hanya terbatas pada dzikir-dzikir, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah ritual lainnya (hablu minallah), sementara sisi ibadah sosial (hablu minannas) diabaikan. Asumsi seperti itu tentu saja tidak benar, karena ibadah sosial juga tidak kalah pentingnya dibandingkan ibadah ritual. Bahkan, tidak jarang karena mengabaikan ibadah sosial, ibadah ritual bisa menjadi tidak berarti. Itu merupakan inti dari tujuan tasawuf, seperti disinyalir dalam surah al-Ma’un;
“Apakaha anda tahu orang yang mendustakan agama itu? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, maka celakalah bagi orang yang shalat.” (QS. Al-Ma’un: 1- 4).

Ayat “maka celakalah bagi orang yang shalat” disebutkan setelah dua ayat yang berkaitan dengan masalah sosial, yaitu menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Itu adalah suatu gambaran bahwa pelaku shalat yang tidak peduli terhadap orang-orang yang membutuhkan bantuan, lemah, tidak mampu, dan tidak memberikan dampak sosial yang baik yang direalisasikan melalui interaksi mereka dengan sesamannya, justru shalatnya itu akan mencelakakannya.

Lebih jelas lagi diceritakan dalam sebuah hadis, ada seorang wanita yang rajin shalat di malam hari dan rajin puasa di siang hari, tetapi Rasul mengatakan dia itu masuk neraka, tentu saja para sahabat menunjukan keheranannya dan bertanya alasannya kepada Rasulullah Saw, beliau menjawab, “ia masuk neraka karena ia selalu menyakiti hati tetangganya dengan lidah”. (HR. Ahmad dan Al-Hakim dari Abu Hurairah). Berdasarkan hadis tersebut, seakan-akan shalat dan puasa yang dilakukan wanita tadi tidak berarti sama sekali, lantaran ia tidak mau berkomunikasi secara baik dengan tetangga atau sesamanya. 

Di dalam Islam, tugas-tugas kemasyarakatan ini mempunyai kedudukan penting, sehingga dihargai lebih tinggi dari pada ibadah-ibadah ritual.

Mantan syekh Al-Azhar, Abdul Halim Mahmud, memberikan bukti-bukti bahwa beberapa orang sufi adalah pedagang-pedagang yang aktif dan cukup sukses.

Gerakan Sanusiah di Afrika Utara adalah gerakan pembaharu sosial yang sangat sufistik, begitu juga Gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir. Sartono, ahli sejarah Indonesia, mencatat bahwa gerakan-gerakan protes di pedesaan di Jawa diwarnai oleh sufisme.

Pada suatu ketika, ada seorang sahabat Rasulullah Saw. melewati sebuah lembah yang cukup indah dan memesona. Lembah itu mempunyai mata air yang jernih dan segar, sehingga sahabat itu berfikir untuk menghabiskan sisa hidupnya di lembah yang jauh dari keramaian masyarakat itu, dan ia ingin mengisinya dengan shalat, puasa, dzikir, berdo’a kepada Allah Swt. Kemudian maksud itu diberitahukan kepada Rasulullah Saw, dan beliau berkata:
“Jangan lakukan itu, kedudukanmu di jalan Allah lebih utama daripada shalat yang engkau lakukan di rumahmu selama tujuh puluh tahun. Tidakkah anda ingin agar Allah mengampuni dosamu dan memasukkanmu ke surga? Berjuanglah di jalan Allah”. (HR. Tirmidzi).

Dalam hadis lain disebutkan juga:
“Dari Abu Umamah, dia bercerita: “Kami keluar bersama Rasulullah Saw. dalam salah satu ekspedisi beliau, kemudian seseorang melewati sebuah gua yang di situ ada air. Orang itu berkata kepada dirinya sendiri untuk tinggal dalam gua itu dengan jaminan hidup dari air yang ada dan memakan tetumbuhan di sekitarnya kemudian melepaskan diri dari dunia. Lalu orang itu berkata, “Kalau nanti aku bertemu Nabi Allah Saw. aku akan ceritakan perkara itu kepada beliau. Kalau beliau izinkan, aku akan lakukan, kalau tidak, tidak”. Maka, datanglah ia menemui beliau (Nabi), lalu berkata, “Wahai Nabi Allah, aku melewati sebuah gua yang di situ ada air dan tetumbuhan yang menjamin hidupku. Maka, aku pun berkata kepada diriku sendiri untuk tinggal di gua itu dan melepaskan diri dari dunia.” Orang itu menuturkan bahwa Nabi saw. menjawab, “Aku tidak diutus dengan keyahudian, juga tidak dengan kekeristenan. Aku diutus dengan kehanifan yang lapang (al-hanafiyatu al-samha’). Demi Dia yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, pergi-pagi dan pulang–petang di jalan Allah adalah lebih baik daripada dunia beserta seluruh isinya. Pastilah berdiri tegaknya seseorang di antara kamu (dalam barisan perjuangan) adalah lebih baik daripada sembahyangnya selama enam puluh tahun.” (H.R. Ahmad).

Berjuang atau pergi di jalan Allah Swt. adalah hidup di tengah-tengah masyarakat dan ikut berperan serta dalam membangun, memberikan yang terbaik bagi sesama, menyebarkan rasa cinta dan kasih sayang, menyerukan perbuatan yang baik dan mencegah perbuatan mungkar, dan peran-peran kemanusiaan lainnya, karena kehadiran seorang muslim sebagai anggota masyarakat merupakan suatu hal yang sangat penting untuk suatu perubahan masyarakat. 

Ada beberapa hadis menjelaskan tentang manusia terbaik, dan semua itu bermuara pada sikap perbuatan yang dilakukan antar sesama, di antara hadis- hadis itu adalah: 
“Manusia yang paling baik ialah yang paling baik akhlaknya. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling banyak manfaatnya kepada sesama. Manusia yang paling baik adalah manusia yang paling baik dalam membayar hutangnya. Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik kepada isteri dan anak-anaknya. Yang paling baik di antara kamu adalah engkau masukan rasa bahagia kepada hati saudaramu yang mukmin.”

Sekali lagi, kebanyakan ayat al-Qur’an ketika menyebut kata âmanû (ibadah ritual) selalu digandengkan dengan kata wa ‘amilû as-shâlihât (ibadah soaial), karena memang keduanya tak bisa terpisah. Sesudah shalat pada waktunya dan membasahi lidah dengan dzikir kepada Allah, manusia paling baik akan berjuang di tengah-tengah manusia. Ia akan berusaha memasukan rasa bahagia kepada orang lain, ia akan memperlakukan isteri dan anak-anaknya dengan baik, ia memperbaiki masyarakat dengan melakukan kontrol sosial yang penuh tanggung jawab dan lain-lain, karena memang kecintaan kepada Allah Swt. melalui kecintaan kepada sesama, dan kedekatan manusia kepada Allah Swt. dengan melakukan sopan santun kepada sesamanya. Inilah salah satu yang terkandung dalam pengertian tasawuf, seperti dikatakan seorang sufi besar Junaid Al-Baghdadi, “bertasawuf adalah engkau merasa bersama Allah Swt. dan Allah Swt. bersama engkau, dan kedekatan itu bisa dilakukan dengan menyantuni sesama, seperti menyantuni orang-orang yang hancur hatinya.”

Ketika Nabi Musa bertanya kepada Allah Swt, “Tuhanku, di mana aku harus mencari-Mu, Allah Swt. menjawab, “Carilah aku di tengah-tengah mereka yang hancur hatinya”.

Tetapi, ketika tugas ganda ini terlepas dari manusia, Allah akan menempatkan manusia ke tempat yang sangat hina (neraka), mereka menjadi manusia yang tak berarti, manusia yang lebih sesat, lebih keji, dan lebih kejam daripada binatang, dan ketika itu tidak akan ada yang namanya kebaikan, kesejahteraan, dan kedamaian, baik buat dirinya maupun buat masyarakatnya. Allah Swt. berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakan untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah) dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka itu lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS. Al-A’raf: 179). 
Dengan begitu, manusia unggulan dalam perspektif tasawuf yaitu mereka yang selalu melaksanakan dua tugas pokok ini, tugas ibadah sebagai bentuk aplikasi pengkhidmatan kepada Allah dan tugas sosial sebagai bentuk pengabdian kepada sesama. Wa Allâhu a’lam bi ash-shawwâb.
kaligrafi kaligrafi unik,kaligrafi jarum,kaligrafi islam

Kamis, 08 Agustus 2013

ISTIQOMAH PASCA RAMADHAN
Menjelang 1 bulan Ramadhan yang telah meninggalkan kita, suasana spiritual yang sangat kental, kondisi ruhani yang demikian bersemangat dan hidup serta gelora ibadah dan kekhusyu’an yang senantiasa kita temui disetiap jengkal nafas dan langkah kita, mulai sirna dan mulai menampakkan watak aslinya… Syawal pun tak lama lagi pergi berlalu, anugerah “sittan min syawalin” yang diibaratkan seperti berpuasa sepanjang tahun juga akan pergi, bisa jadi ini adalah Ramadhan dan Syawal terakhir kita.
Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa mempertahankan suasana, semangat dan kekhusyu’an seperti yang kita miliki dalam Ramadhan? Adalah dengan sikap istiqomah atau konsisten. Berusaha sekuat tekad dan tenaga untuk senantiasa melaksanakan ketaatan dan peribadatan dalam setiap situasi dan kondisi, insya Allah suasana, semangat dan kekhusyu’an yang hampir mirip kita akan dapati dalam 11 bulan berikutnya. “Khairul a’maali maa daama wain qalla. Sebaik-baik amal perbuatan adalah yang berkesinambungan meskipun kuantitasnya sedikit.” Demikian sabda Rasulullah saw. Rasul juga tidak senang terhadap orang yang “ngebut” dan “ngebet” dalam menjalankan suatu ibadah kemudian ia jenuh dan akhirnya meninggalkannya sama sekali.
Pernah ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah saw. satu kata atau satu ajaran yang ia tidak akan bertanya lagi selainnya dalam kehidupan ini. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Qul amanu billah tsumastaqimu. Katakanlah saya beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” Sebuah pertanyaan yang manusiawi, pertanyaan sebagai bekal dan pegangan hidup yang dibanggakan dan diamalkan. Dan jawabannya pun tidak panjang apalagi berbelit berbelit. Hanya dua kata kunci kehidupan, yaitu Iman dan Istiqamah.
Allah swt. berfirman dalam surat Fushshilat ayat 30-32.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kami-lah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Al-Ustad Sayyid Qutb menjelaskan bahwa:
Keistiqomahan dalam memegang teguh pernyataan “Rabb kami adalah Allah” berarti keistiqomahan dalam mengaktualisasikan dan membenarkannya, keistiqomahan yang dirasakan oleh hati dan yang dilaksanakan dalam kehidupan nyata, keistiqomahan dalam melaksanakan berbagai implikasi serta kewajibannya ketika kita bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Allah. Tentu saja ini adalah perkara yang berat dan sulit. Karena berat dan sulit itulah , orang-orang yang beristiqomah akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa besar di sisi Allah berupa kebersamaan dengan para malaikat, perlindungan mereka dan kasih sayang mereka. Inilah yang tampak dari apa yang dikisahkan Allah tentang mereka, Malaikat berkata kepada temannya yang beriman:
“…Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kami-lah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat…”
Kemudian digambarkan kepada mereka surga yang dijanjikan sebagai penggambaran seorang sahabat kepada sahabatnya tentang apa yang dia ketahui:
“…di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Subhanallah, ini adalah janji yang Allah siapkan buat orang-orang yang senantiasa beristiqomah.
Al Qur’an dan As Sunnah menganjurkan umatnya untuk berlomba-lomba dalam mengamalkan kebajikan dan amal shalih, akan tetapi Al Qur’an dan As Sunnah tidaklah melupakan berbagai keadaan yang sedang dan akan dialami oleh masing-masing manusia. Setiap orang pasti melalui berbagai fase dari pertumbuhan fisik, biologis, mental dan berbagai perubahan dan keadaan yang meliputinya. Oleh karena itu Al Qur’an dan As Sunnah senantiasa mengingatkan umatnya agar dalam beramal senantiasa memperhatikan berbagai faktor tersebut, sehingga tidak terjadi berbagai ketimpangan dalam kehidupan mereka, baik pada saat beramal atau pada masa yang akan datang. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak haditsnya telah menjelaskan dengan gamblang metode beramal semacam ini, diantaranya pada sabda Beliau:
Pada suatu hari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiallahu ‘anhu berkata, ‘Seumur hidupku, aku akan sholat malam terus menerus dan senantiasa berpuasa di siang hari.’ Tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dilapori tentang ucapan sahabat ini, beliau memanggilnya dan menanyakan perihal ucapannya tersebut. Tatkala Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash mengakui ucapannya tersebut, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, Engkau tidak akan kuat melakukannya, maka berpuasalah dan juga berbukalah (tidak berpuasa). Tidur dan bangunlah (sholat malam). Dan berpuasalah tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan dilipatgandakan supuluh kalinya, dan yang demikian itu sama dengan puasa sepanjang tahun.’ Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash berkata, ‘Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu’ Beliau menjawab, ‘Puasalah sehari dan berbukalah dua hari.’ Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash kembali berkata, ‘Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.’ Beliau menjawab, ‘Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihissalaam dan itulah puasa yang paling adil.’ Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash berkata, ‘Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.’ Beliau menjawab, ‘Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.’ Kemudian semasa tuanya Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash menyesali sikapnya tersebut dan beliau berkata, ‘Sungguh seandainya aku menerima tawaran puasa tiga hari setiap bulan yang disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, lebih aku sukai dibanding keluarga dan harta bendaku.’ (Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu sebagian ulama’ menjelaskan bahwa metode yang benar dalam beramal agar dapat istiqomah sepanjang masa dan dalam segala keadaan:
“Beramallah sedangkan engkau dalam keadaan khawatir, dan beristirahatlah dari beramal dikala engkau masih menyukai amalan tersebut (bersemangat untuk beramal).”
Disadur ulang dari:
- http://alimancenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=420:istiqomah-bada-ramadhan&catid=101:buletin-al-iman&Itemid=18
- Tafsir Fi Zhilalil Qur’an